Namanya dusun Drokiyo, dusun ini
terletak di desa Pasi kecamatan Glagah Kab
Lamongan. Kalau dari kota lamongan, kita bisa mengambil jalan ke arah timur
jurusan Surabaya, sesampai di pertigaan Deket belok kiri sampai ketemu pertigaan Soko atau
masyarakat sekitar menyebutnya telon Slempit,
dari telon Slempit kita menuju ke timur sampai desa Gempol Pendowo
(Pompongan), setelah sampai Desa Gempol Pendowo ada jalan kecil ke arah utara,
di situlah letak Dusun Drokiyo. Walaupun bisa dibilang dusun yang kecil, tapi
bagi saya pribadi dusun ini merupakan tempat yang penuh dengan kenangan indah, sebab sebagian besar masa kecil saya
dihabiskan di tempat tersebut.
Dusun ini dipimpin Kasun atau
masyarakat di tempat kami menyebutnya pak Bau ada juga yang menyebut pak Polo,
syahdan menurut cerita orang-orang di
tempat tinggal kami, yang pernah jadi Kasun di dusun Drokiyo adalah bpk Haji Dimyati, bpk
Suriyat, bpk Salekan, dan sekarang bpk Fatkur Rohman.
Waktu kecil saya tinggal bersama orang tua saya,
awalnya saya tinggal satu rumah dengan nenek saya, rumah nenek saya menghadap
ke Barat, dulu di depan rumah nenek saya ada tetangga kalau tidak salah namanya Bpk Daselan suami dari ibu Nuriyatun, beliau
memiliki tiga anak, anak yang pertama namanya Saipul, anak yang ke dua namanya Suhari dan yang ke tiga bernama Rohma, tetapi kemudian keluarga ini pindah
entah kemana? kemudian rumah bekas tempat tinggal mereka jadi kosong. Hal ini
dimanfaatkan teman-teman di kampung saya
untuk tempat bermain, mulai dari bermain kelereng, bermain gambar, petak
umpet dll, sampai akhirnya rumah tersebut diperbaiki dan digunakan untuk tempat
tinggal ustad saat ini, bapak Asnawi.
Tepat di sebelah utara rumah nenek saya terdapat
mushola atau Langgar untuk jamaah putri, dulu mushola ini masih berbentuk
panggung sehingga untuk memasukinya kita mesti melewati tangga dahulu yang
berada di bagian belakang dekat tempat mandi (sungai) mushola tersebut, di
tempat inilah remaja putri dan wanita-wanita di tempat saya melakukan sholat
berjamaah dan kegiatan keagamaan lainnya. Di sebelah utara Mushola berdiri satu-satunya
warung yang ada di kampung saya waktu itu, sekarang warung tersebut sudah tidak
ada lagi, yaitu warung alm Bu Kunaimah, tempat ini merupakan tempat cangkruk
atau jandonan orang-orang tua waktu itu, pada saat listrik belum masuk wilayah
kampung saya, bila malam tiba warung ini merupakan tempat yang paling terang
karena penerangannya menggunakan lampu petromak atau waktu kecil kami
menyebutnya lampu kompan, karena untuk proses menyalakannya kita mesti membakar
kaos lampu yang sudah dibasahi dengan spiritus dan memompa tabungnya yang sudah
diisi minyak tanah, tidak banyak rumah warga yang menggunakan lampu petromak waktu
itu, sebagian besar warga untuk menerangi rumahnya di waktu malam hari
menggunakan lampu oblek dan lampu templek yang ada semprongnya.
Sedangkan di belakang rumah nenek
saya terdapat sungai kecil yang berasal dari aliran sungai bengawan Solo,
sungai ini biasa saya gunakan mandi dan bermain dengan teman-teman. Kami
biasanya memanfaatkan batang pisang atau gedebok untuk dijadikan tunggangan
kuda-kudaan di sungai, saya dan teman-teman menyebutnya ramon, sungai ini dulu
jernih dan banyak sekali ikannya. Di seberang sungai dahulu ada pohon besar milik
alm mbah Trimona dan mbah Badron, namanya pohon Gayam, jika pohon ini sudah
berbuah biasanya saya dan teman-teman menunggu
rontoknya buah gayam tersebut, kami tidak berani mengambil buah yang
masih berada di pohon karena hal itu di anggap sama halnya dengan mencuri, kami
menunggu buah itu matang lalu jatuh di Sungai, setelah jatuh di sungai kami
berenang untuk mengambil buah yang terbawa arus sungai tsb, buah Gayam biasanya direbus atau digoreng menjadi keripik untuk dijadikan
camilan.
Dahulu banyak sekali
permainan-permaian untuk mengisi keceriaan hari-hari bersama teman-teman saya
waktu masih kecil, saya masih ingat
ada permainan adu klingsi, klingsi
adalah biji asam jawa, biji tersebut
digosokkan pada permukaan lantai yang kasar sehingga tersisa tinggal
separuhnya, kemudian ditempelkan pada pecahan keramik atau beling untuk di adu
kekuatannya sama punyanya teman-teman,
agar kuat ikatanya diberi perekat, saya dan teman-teman menyebutnya
dibacem. Bacem ini bermacam-macam asalnya
mulai dari getah pohon kelorak, getah kangkung, putih telur, getah pohon
mbulung (dulu banyak tersebar di sebelah
selatan makam dusun Drokiyo, sekarang berubah jadi tambak) bahkan ada yang
memakai tepung kanji yang dimasak. Intinya dalam permainan ini adalah
barangsiapa yang memiliki klingsi yang paling kuat dialah pemenangnya, dan
tentu saja menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bila memiliki klingsi yang
menangan.
Saya dan teman-teman memiliki
beberapa tempat yang biasa digunakan untuk bermain, salah satunya yaitu
kebun/britan, tempat di mana kami bermain waktu sore sambil menunggu waktu magrib tiba, permainan
yang popular waktu itu adalah Bentongan, Betengan, Sembek an, Dolip an dan
patung-patungan. Dalam bermain pun semua
serasa begitu rukun, remaja putra dan putri berbaur bermain menjadi satu,
sangat akur dan tidak pernah terjadi hal-hal yang tdk diinginkan, sesuatu yang
sudah menjadi barang langka untuk ukuran saat ini. Jika menjelang magrib
permainan pun berakhir, Saya dan teman-teman segera mengambil perlengkapan
sholat menuju masjid.
Ba’dah magrib saya dan
teman-teman rutin mengaji alqur’an, guru ngaji kami waktu kecil adalah Pak Ali
hamdi, kami biasanya menyebutnya dengan pak Hamdi. Pak Hamdi mempunyai istri
bernama bu Ida serta tiga orang anak yang bernama A’am, Anis, dan Fitri. Pak
Hamdi mengajar remaja putra di masjid sedangkan bu Ida mengajar remaja putri di
mushola. Kami mengenal pak Hamdi sebagai
sosok ustad yang sangat disiplin dan tegas dalam mengajar, bicara soal
ketegasan sosok pak Hamdi jangan ditanya, dia ibarat pak Mustar dalam novel
sang pemimpi, pernah suatu ketika teman-teman pulang sebelum waktu mengaji
Alqu’ran selesai, dan ketahuilah apa yang terjadi? Pak Hamdi menguber teman-teman tadi ke sudut-sudut
kampung, sama persis seperti ketika Pak Mustar mengejar-ngejar Ikal, Arai dan
jimbron dalam novel sang pemimpi, tentu saja hal ini membuat teman-teman merasa
ketakutan dan panic, bahkan untuk menyelamatkan diri ada yang
sampai – sampai sembunyi dikandang ayam.
Peristiwa lain yang tak kalah menggelikan
yaitu ketika pak Hamdi mengadakan jadwal
pelajaran Qiroah Alqur’an setiap hari minggu siang ba’da sholat zduhur, waktu
itu untuk tenaga pengajarnya namanya
ustad Amir dari desa Rayunggumuk. Seperti biasanya setiap hari minggu ba’dah
sholat dzuhur semestinya saya dan teman-teman belajar Qiro’ah di masjid, tapi
untuk kali ini entah kenapa saya dan teman banyak yang tidak ikut kegiatan
malah lebih memilih main karambol di warung. Pas lagi asyik-asyiknya main
karambol tiba-tiba pak Hamdi datang mengendarai sepeda motor bututnya, tanpa
basa-basi sepeda motornya menerobos tempat saya dan teman-teman kumpul main
karambol sambil “bleyyyer-bleyyyerrrr” motornya dengan sangat keras, aksinya bak Lorenzo Lamas waktu mengendarai
moge dalam serial Renegade. J,
bedanya Cuma Lorenzo Lamas gondrong
sedangkan beliau pake kopiyah atau kalo gak ya pake helm cibok pas naik sepeda.
Seketika itu teman-teman lari tunggang-langgang menyelamatkan diri dari amukan pak Hamdi, saya sendiri
langsung lari masuk rumah ambil sarung, ambil kopiyah langsung meluncur ke
masjid (nyari amannya. Hehe.. ).
Saya pripadi menaruh rasa kagum yang
mendalam terhadap sifat beliau, sebagai seorang ustad beliau hidup secara sederhana, tulus dan penuh pengabdian, sangat
jauh berbeda dengan kondisi ustad-ustad Seleb alias ustad dadakan yang
belakangan marak menghiasi layar
televisi kita saat ini, yang banyak mengumbar kemewahan dan gaya hidup hedonis ke
muka publik, kami mengenang pak Hamdi sebagai sosok yang penuh pengabdian,
walaupun imbalan yang didapat dari mengajar para murid-muridnya bisa dikatakan
sangat jauh dari kata layak, pun demikian, itu semua tidak menghalangi niat
tulus dan perjuangan beliau dalam mendidik murid-muridnya agar menjadi orang
yang cerdas dan beriman. Meminjam istilah prof Anies Baswedan, beliau memilih “terjun langsung turun tangan daripada sekedar
urun angan. “ . namun sekitar tahun 1991 pengabdian pak Hamdi di kampung saya
berkahir, beliau pindah mengajar ke tempat lain dan posisinya digantikan oleh
Ustad Syamsul Ma’arif. (semoga kasih sayang dan lindungan Allah swt selalu
menaungi beliau dan keluarganya).
Selepas kepergian pak Hamdi urusan keagamaan kampung saya dipimpin
oleh ustad Syamsul Ma’arif, pada periode inilah bisa dikatakan saat
dimana mental dan karakter saya ditempa dan dibentuk. Pada masa beliau,
pendidikan keagamaan semakin insentif digalakkan, dimulai dari pagi hari ba’dah
shubuh dilakukan pengajian alqur’an, sore hari ba’dah sholat asyar diadakan
pendidikan Diniyah, di sini para santri
diajari ilmu Fiqih, Aqidah Ahlak, Tajwid bahkan sampai pelajaran bahasa Arab.
Selepas sholat magrib para santri kembali dihadapkan pada pengajian Alquran.
Pokoknya benar-benar mantappp and joss markojosss J. Yang jelas saya sangat
beruntung bisa diajar beliau, pada waktu itu saya termasuk murid kesayangan
beliau (hehehe PD …), bahkan ketika masa bakti beliau dikampung saya berakhir
dan digantikan oleh ustd Roiz beliau sempat memberi sejumlah uang saku yang
dititipkan kepada orang tua saya, dan kepada orang tua saya beliau berpesan bahwa
diantara teman-temannya saya termasuk anak yang pinter (gubrakkkkkk… ), saya
yang mendapat salam dan pujian semacam
itu Cuma cengar cengir gak jelas. Namun satu hal yang tidak bisa dipungkiri, pujian
yang meluncur sederhana dari ustad saya
tersebut mampu memberi efek semangat psikologis yang sungguh luar biasa, sejak
saat itu gairah belajar saya semakin bertambah secara luar biasa ... Alhamdulillah
patut disyukuri meskipun saya tinggal dikampung pelosok yang jauh dari
keramaian kota, tapi untuk urusan prestasi belajar masih bisa dibanggakan. Lulus
SD saya masih mampu menjadi juara pertama, lulus SMP nilai saya masih bisa menerobos urutan ke
tiga, demikian halnya waktu lulus SMK, bahkan saya sudah direkrut sebuah
perusahaan manufactur water pump di daerah Tangerang sebagai Research and Development sebelum
nilai ijazah ujian kompetensi muncul. Dan Alhamdulillah saat ini bisa bekerja
di salah satu BUMN bidang Pembangkit Listrik. Terimah kasih ustd Syamsul…..,
tak lupa pula pada kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan kepada
orang-orang yang saya anggap berjasa dalam hidup saya diantaranya ; Bpk Sudarto
guru kelas VI SDN Pasi I, Bpk Jupri dan Alm Bpk Sutimin Guru Permesinan SMKN 5
Sby, Bu Sylviana ST.MT dosen Teknik Industri UWG. Dan tentu saja kedua Orang
Tua dan seluruh keluarga besar saya, wabil khusus kepada sang penasehat spiritual saya, dan pembimbing ahlak melalui tirakat dan amalan2nya yang ihlas, alm Nenek tercinta.
Terimah kasih semua atas kebaikan dan jasa-jasanya, semoga kasih sayang dan
perlindungan Allah Swt selalu menyertai mereka semua. Aamiin.
Itulah sekilas mengenai masa
kecil saya di kampung Drokiyo, sejak lulus
sekolah SMP saya mulai meninggalkan Drokiyo untuk melanjutkan pendidikan ke
Surabaya, walaupun tetep kalau mudik ke dusun
Drokiyo namun hal itu hanya terjadi saat-saat tertentu saja, praktis kebersamaan
dengan kampung tercinta semakin jarang
dan berkurang. Lebih-lebih saat sudah berkeluarga seperti saat ini. Meskipun demikian bagi saya Drokiyo adalah nostalgia tanpa akhir. Tempat yang penuh kenangan, Tempat
di mana saya dilahirkan, tempat tinggal orang tua dan handai taulan saya Yang
selalu saya rindukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar